Buntut Pelarangan PETI di Hulu Kapuas, Warga Kedamin Ancam Blokir Pasokan Minyak
Warga Kedamin Hilir dan Hulu, saat mendatangi Mapolsek Putussibau Selatan, untuk menyampaikan keinginannya. |
Hal tersebut buntut dari adanya surat edaran larangan untuk bekerja PETI, yang dibubuhi tandatangan dan cap dari Temenggung Suku Punan Hovongan, tandatangan dan cap dari Kepala Adat Desa Bungan Jaya dan Ketua Adat Dusun Nanga Lapung, sehingga membuat mereka hampir dua bulan terakhir ini menganggur.
Terdapat enam lokasi PETI yang diminta untuk segera ditinggalkan oleh para pekerja itu yakni Sungai Asiyal, Sungai Bokaran Uru, Sungai Tojaku, Sungai Sivo, Sungai Hangai dan Sungai Atahum. Ke enam sungai tersebut merupakan anak dari Sungai Kapuas yang terletak di perhuluan (hulu) Sungai Kapuas.
Atas larangan tersebut, sejumlah masyarakat Kelurahan Kedamin Hilir dan Kedamin Hulu mendatangi Mapolsek Putussibau Selatan, Senin (13/05/2024).
Kedatangan mereka tersebut bertujuan untuk berkoordinasi dan meminta keadilan terkait pelarangan aktivitas PETI di Hulu Sungai Kapuas tersebut.
Sebelum mendatangi Mapolsek Putussibau Selatan, terlebih dahulu mereka mendatangi kantor Camat Putussibau Selatan dengan maksud dan tujuan yang sama.
Suparman, yang merupakan perwakilan dari warga, menyatakan maksud dan tujuan kedatangan mereka itu yakni untuk meminta keadilan karena dari masyarakat Hulu Kapuas sudah melarang mereka bekerja.
"Kita pun tidak tahu pasti kenapa masyarakat di Hulu Kapuas itu melarang kita bekerja. Apabila larangan ini hanya berlaku untuk orang luar saja tetapi masyarakat setempat masih boleh bekerja, maka kami akan memblokir pasokan minyak untuk aktivitas PETI di sana. Ini supaya adil," ujar Suparman.
Menurutnya, justru dengan adanya surat yang dikeluarkan oleh pihak adat itu, sama saja mereka menutup mata pencaharian mereka sendiri karena masyarakat Hulu Kapuas juga bekerja PETI, yang artinya sama-sama antara pihaknya dengan masyarakat Hulu Kapuas bekerja emas di lokasi yang dilarang yakni kawasan taman nasional dan hutan lindung.
"Selama ini dari pihak terkait (TNBK) tidak mungkin tidak mengetahui adanya kegiatan illegal tersebut, tapi mereka kemungkinan masih memikirkan kebutuhan masyarakat sehingga mereka seakan tidak tahu," terangnya.
Dijelaskan Suparman, sebelumnya dari pihak Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK), yang merupakan pemilik kawasan, menyampaikan bahwa ada alat berat yang digunakan dalam aktivitas PETI tersebut padahal hanya mesin dongfeng, robin dan ada pula yang bekerja secara manual. Mesin dongfeng dan robin itu pun awalnya digunakan oleh penduduk setempat bukan dari masyarakat luar.
"Kami hanya ikut-ikutan saja membawa dongfeng maupun robin," jelasnya.
Suparman menyampaikan, masyarakat luar masih berharap untuk bekerja kembali seperti biasa di Hulu Kapuas tersebut.
"Kami berharap tidak dilarang. Tapi dari hasil pertemuan kita dengan pihak Muspika, nanti dari mereka akan turun langsung untuk membahas persoalan ini sehingga tidak terjadi kesalahpahaman," tuturnya.
Dijelaskannya lebih lanjut, lokasi di Hulu Kapuas tempat mereka bekerja tersebut masuk dalam kawasan Taman Nasional bukan berstatus hutan adat.
Ia juga membeberkan bahwa terdapat ratusan orang yang bekerja di Hulu Kapuas tersebut.
"Untuk jumlah alat yang digunakan di sana saya kurang tahu berapa banyak. Yang jelas pekerjanya ratusan orang," bebernya.
Sementara itu, Kapolsek Putussibau Selatan, Iptu Egnasius memaparkan, kedatangan warga Kedamin Hilir dan Hulu tersebut yakni untuk berkoordinasi kepada pihaknya terkait pelarangan mereka bekerja emas di Hulu Kapuas.
"Kami akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan Muspika, untuk turun ke lokasi di Hulu Kapuas, dalam rangka menindaklanjuti permasalahan ini," singkatnya. (Nt)
Tidak ada komentar