KUD Asmoja Sebut PT. RAP Pegang Sertifikat Tanah Milik Petani Sawit di Silat Hilir, Bukan KUD
Perwakilan petani kelapa sawit di Kecamatan Silat Hilir yang meminta keadilan. |
Pasalnya, sampai saat ini sertifikat lahan Plasma yang mereka duga telah diserahkan oleh pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Riau Agrotama Plantation (RAP) Salim Group kepada Koperasi Unit Desa (KUD) Asmoja pada tahun 2020 lalu, tak kunjung diberikan kepada mereka.
"Saat pihak KUD Asmoja ini kita mintai sertifikat, mereka selalu beralasan bahwa sertifikat tersebut masih dalam proses pemecahan di BPN Kapuas Hulu. Padahal ketika kami cek ke kantor BPN Kapuas Hulu, tidak ada usulan untuk pemecahan sertifikat milik kami," kata Aditriono, salah seorang petani Plasma kelapa sawit di Kecamatan Silat Hilir, Rabu (24/01/2024).
Ia menjelaskan, akibat dari sertifikat mereka tersebut tak kunjung diberikan, lahan milik mereka kini diklaim oleh oknum masyarakat setempat sehingga mereka tidak bisa melakukan panen di lahan mereka sendiri.
"Padahal pada tahun 2012 lalu antara PT. RAP dan KUD Asmoja telah melakukan kesepakatan, di mana salah satu poin dalam kesepakatan tersebut menyebutkan bahwa sertifikat kebun Plasma akan segera dikembalikan kepada petani," jelasnya.
Menurut Aditriono, ada 6 (enam) lokasi lahan yang diklaim oleh oknum masyarakat setempat tersebut. Mulai dari lahan Plasma atas nama Suwarno seluas 0,75 hektare, Khusnul Khotimah satu hektare dan Kaswati satu hektare.
"Lahan mereka tersebut diklaim oleh Aboy, yang merupakan warga setempat," sebutnya.
Selain itu, lanjut Aditriono, ada pula lahan yang diklaim oleh Pandi mengatasnamakan Salam, yaitu lahan milik Tohamin seluas 1,75 hektare, Rasidin 1,75 hektare dan Saniato 1,75 hektare.
Dengan adanya pengklaiman lahan tersebut, kata Aditriono, tentunya pemilik lahan tidak terima sehingga melaporkannya ke desa dan ke Polisi.
"Kita berharap dari pihak kepolisian dapat bertindak cepat untuk menyelesaikan masalah ini," harapnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, petani lainnya ,Rosidin menyatakan bahwa sekitar 250 kapling lahan Plasma milik petani, yang merupakan warga masyarakat transmigrasi yang bersertifikat di Desa Pangeran, telah diserahkan oleh pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. RAP kepada KUD Asmoja pada tahun 2020 lalu.
Namun, kata Dia, setelah lahan beserta sertifikat tersebut diserahkan oleh pihak perusahaan PT. RAP kepada KUD Asmoja, dan kemudian diambil alih oleh KUD Asmoja selama enam bulan, yakni dari Januari hingga Juni 2021, yang pada akhirnya para petani banyak protes, meminta lahan tersebut untuk segera dibagikan kepada para petani.
"KUD Asmoja pun mengabulkan permintaan untuk pembagian atau penyerahan lahan tersebut kepada petani sejak Juni 2021 lalu, dengan pilihan dua opsi, yaitu apakah akan dikelola langsung oleh petani itu sendir atau dikelola oleh KUD Asmoja. Masyarakat pun memilih untuk mengelolanya sendiri. Tapi baru panen beberapa kali, tepatnya sekitar enam kali panen, lahan tersebut pun kemudian diklaim dan dipanen oleh seseorang yang bernama Pandi, yang mengatasnamakan Pak Salam," kata Rosidin.
Rosidin menjelaskan, Pandi tersebut merupakan warga sekitar, sedangkan Pak Salam juga merupakan warga sekitar yang memiliki banyak tanah di wilayah tersebut.
"Permasalahan menjadi semakin rumit ketika Si Pandi ini kabarnya menggadaikan lahan tersebut kepada Disun sebesar Rp20 juta. Jadi, selama uang gadai sebesar Rp20 juta tersebut belum dikembalikan atau ditebus oleh Pandi kepada Disun, maka selama itu pula Disun masih memanen sawit milik petani sehingga sampai sekarang, selama sudah satu tahun lebih, Disun masih memanen sawit milik petani tersebut," jelasnya.
Anehnya lagi, lanjut Rosidin, Si Disun pernah datang ke rumahnya, untuk meminta uangnya dikembalikan olehnya. Padahal, masalah atau urusan sebelumnya soal gadai antara Pandi dan Disun, dirinya tidak mengetahui.
"Disun pernah datang ke rumah saya dan meminta uangnya yang berjumlah Rp20 juta itu dikembalikan oleh saya, dengan syarat bahwa lahan sawit dikembalikan kepada saya. Padahal saya di sini adalah korban," katanya.
Rosidin mengaku tidak mengetahui apakah uang sebesar Rp20 juta yang diminta oleh Disun kepada dirinya tersebut, untuk per kapling lahan sawit atau keseluruhan dari lahan sawit milik petani yang ada.
Rosidin kembali memaparkan bahwa lahan yang diserahkan oleh KUD Asmoja kepada masyarakat tersebut tidak beserta sertifikatnya, di mana sertifikatnya diduga masih dipegang oleh KUD Asmoja.
"Sudah berapa kali kami mengusulkan agar sertifikat diserahkan kepada petani masing-masing, namun pihak KUD Asmoja mengatakan masih dalam proses lebu atau pemecahan r untuk pembuatan sertifikat baru, Tapi berdasarkan keterangan dari pihak BPN bahwa belum ada usulan dari pihak KUD Asmoja kepada pihak BPN terkait pemecahan sertifikat transmigrasi yang sudah sekitar dua tahun ini," paparnya.
Atas pengklaiman lahan yang dialami oleh para petani tersebut, para petani mengaku telah melakukan upaya untuk meminta keadilan, dengan mendatangi pihak KUD Asmoja, desa setempat, pihak Kecamatan dan Kepolisian setempat.
"Kalau dari Polsek sendiri sudah mengarahkan untuk melaporkan hal tersebut langsung ke Polres. Kami pun melaporkannya ke Polres Kapuas Hulu. Namun, sudah sekitar tiga bulan ini belum ada respon dari Polres Kapuas Hulu padahal laporan sudah diterima," ungkapnya.
Sementara itu, di tempat terpisah, Ketua KUD Asmoja, Hendrik, membantah bahwa sertifikat tanah para petani tersebut tidak dipegang oleh pihaknya, namun masih dipegang oleh perusahaan (PT. RAP).
"Sampai saat ini pihak perusahaan PT. RAP belum menyerahkan sertifikat tanah transmigrasi milik petani kepada KUD Asmoja," sebut Hendrik, dihubungi Rabu (24//01/2024).
Atas hal tersebut, Hendrik pun mengarahkan untuk melakukan konfirmasi kepada pihak perusahaan PT. RAP.
"Kalau mau lebih jelas hubungi saja pihak perusahaan (PT. RAP) untuk menanyakan masalah tersebut. Saya tidak bisa banyak komentar karena hal ini merupakan ranahnya perusahaan," katanya.
Hendrik mengakui bahwa masalah sertifikat tersebut rumit karena merupakan sertifikat lahan transmigrasi yang terbit pada tahun 1984 silam, yakni Lahan Usaha (LU) 1 dan LU 2.
"Saat ini posisi LU 1 dan LU 2 tersebut apabila ditanyakan kepada para petani itu, maka apakah mereka tahu letak lahannya yang sesuai sertifikat itu dan mereka petani itu pun menempati sertifikat itu bukan sesuai dengan sertifikatnya,," terangnya.
Selain letak lahan tersebut tidak diketahui oleh petani, lanjut Hendrik, penempatan lahan areal Plasma tersebut juga tidak sesuai sertifikat. Ia mencontohkan bahwa bisa jadi seseorang yang memiliki sertifikat tersebut menempati lahan orang lain karena letak lahan tidak sesuai dengan sertifikat.
"Kalau mau lebih jelas, hubungi saja pihak perusahaan dan BPN," ungkapnya. (Nt)
Tidak ada komentar